Kota di tepi Selat Madura ini pernah mengalami kejayaan industri gula. Temuan besar pun dicetak di sini.
Berawal dari upaya VOC pada permulaan abad ke-19 menyulap daerah Tapal Kuda Jawa Timur yang mereka sebut Oosthoek dan dianggap daerah miskin, menjadi kawasan yang produktif secara ekonomi. Cara yang ditempuh adalah melalui pertanian dan pengolahan tebu.
Akibatnya petani Jawa, yang kehidupannya pada masa itu berpusat pada produksi padi skala kecil, terpaksa ganti haluan menjadi pekerja di perkebunan tebu. Dalam setengah abad, budidaya tebu dan industri gula membawa kesejahteraan bagi penduduk kawasan Tapal Kuda dan menjadikan Pasuruan salah satu wilayah paling kaya di Jawa.


POJ Pasuruan 1904-1910. (Dok. KITLV) POJ Pasuruan 1904-1910. (Dok. KITLV)

POJ Pasuruan 1915. (Dok. KITLV)
Setelah seabad eksploitasi produksi gula, datanglah sebuah periode panjang gonjang-ganjing ekonomi dan gejolak sosial. Oosthoek terancam oleh goyahnya harga gula dunia. Begitu Depresi Besar mencapai Hindia-Belanda pada 1929, harga ekspor ambruk. Petani tebu dan pekerja pabrik gula jatuh miskin. Orang-orang Eropa dan Cina yang sebelumnya mendapat kekayaan dari industri gula juga tak luput dari kemalangan ini.
Salah satu peninggalan masa kejayaan gula di Pasuruan adalah Gedung P3GI di Jalan Pahlawan 25 yang merupakan gedung tertua di lahan terluas di Pasuruan. Masyarakat Pasuruan menyebutnya Gedung Prop, pelafalan lokal dari nama asal kantor ini, Proefstation Oost-Java (POJ). POJ didirikan pada 9 Juli 1887 dengan Dr. J.G. Kramers sebagai Direktur dan J.D. Kous sebagai Deputi Direktur.

Foto para kepala P3GI pada masa Belanda



J.D. Kobus, 1910. (Dok. KITLV) Dr J.H. Wakker, 1910. (Dok. KITLV) Dr. J.W. Hes, Direktur Proefstation 1936.
POJ adalah lembaga riset tebu/gula ketiga yang didirikan untuk mendukung industri gula di wilayah Hindia Belanda setelah Het Proefstation Midden Java di Semarang pada 1885 dan setahun kemudian Proefstation voor Suikerriet in West Java didirikan di Kagok, Majalengka.
Hindia Belanda membuat beragam riset berbasis gula, on farm dan off farm, di sini. Riset on farm adalah terkait tanaman tebu hingga siap digiling di pabrik, dan off farm adalah dari proses penggilingan sampai jadi gula.

Penyakit sereh-tebu. (Foto: istimewa)
Berdirinya POJ Pasuruan tak lepas dari dua hal besar yang sedang merebak saat itu, yakni penyakit sereh yang melanda hampir seluruh tanaman tebu di dunia dan ancaman perdagangan gula bit, terutama dari Eropa. Penyakit sereh membuat tanaman tebu tak punya batang, dari tunggul langsung daun, sama seperti sereh.
Penyakit sereh pertama ditemukan di perkebunan tebu di Jawa Barat pada 1881, dan dalam beberapa tahun menyerang seluruh pulau Jawa. Kerugiannya besar, membuat industri gula Jawa terancam hancur.
Pada 1921 POJ merilis varietas unggul tebu POJ 2878 yang dijuluki wonder cane of Java, merupakan persilangan antarspesies, di antaranya tebu (Saccharum officinale) dan gelagah (Saccharum spontaneum). Delapan tahun setelah dirilis, POJ 2878 telah ditanam di 90 persen areal tebu di Jawa dan kemudian berhasil menyelamatkan industri gula dunia yang nyaris rontok akibat penyakit sereh.
POJ juga merilis POJ 3016 pada 1930, varietas yang memiliki produktivitas tinggi dan dalam waktu singkat mencapai 90 persen areal tebu Jawa. Artikel Abraham Nurcahyo, “Tata Kelola Industri Gula di Situbondo Masa Kolonial dan Kebijakan Pergulaan Masa Kini” dalam Agastya: Jurnal Sejarah dan Pembelajarannya (2011), menuliskan bahwa produksi gula dari 151 kuintal per hektare pada 1928 menjadi 176,3 kuintal per hektare pada 1940. Temuan hasil riset di Pasuruan langsung dikenal dunia, dan POJ jadi kiblat pada masa itu.


Menanam bibit tebu di POJ Pasuruan 1930 (Dok. KITLV) Nampan benih dengan bibit berusia 2-3 minggu di POJ
Pasuruan 1920. (Dok. KITLV)


Dr. Posthumus di antara tebu yang berusia satu tahun di Penyilangan tebu di POJ Pasuruan, 1927. (Dok. KITLV)
lahan ujicoba POJ Pasuruan, 1927. (Dok. KITLV)
Seiring perubahan zaman, peneliti gula di POJ berubah-ubah kebangsaan. Dari Belanda, ke Jepang, hingga kemudian dinasionalisasi pada 1957, POJ sepenuhnya dipegang orang Indonesia, namanya menjadi Balai Penyelidikan Perusahaan-Perusahaan Gula (BP3G).
Pada 1987, nama BP3G diganti menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dan berlaku hingga kini. Inisial POJ yang sebelumnya digunakan untuk varietas temuan lembaga ini, sejak 1957 berubah inisial jadi PS, mengacu pada Pasuruan.
“Walau sudah seabad, teori-teori yang dibangun pada zaman Belanda masih relevan sampai sekarang dan varietas POJ tetap jadi ‘keyword’ P3GI,” ujar Manager of Marketing, Training & Information P3GI Aris Lukito saat dijumpai di Pasuruan beberapa waktu lalu. Lanjut Aris, hingga kini banyak yang datang dari luar negeri, termasuk anak-cucu direktur-direktur pada masa lalu, untuk melihat jejak sejarah temuan-temuan terdahulu.


Gedung Serbaguna P3GI yang masih mempertahankan Pintu utama Gedung Serbaguna P3GI. (Foto: Silvia Galikano)
keaslian, kecuali lantainya. (Foto: Silvia Galikano)
P3GI bukanlah satu gedung, melainkan kompleks bangunan di dalam satu kawasan seluas 10 hektare. Bagi wisatawan peminat sejarah, P3GI masuk dalam daftar yang wajib dikunjungi. Di antara pohon-pohon tua nan rindang, dapat kita lihat gedung-gedung tua yang masih difungsikan.
Berbeda dengan kantor-kantor lainnya, P3GI terbilang sepi dari karyawan yang wira-wiri. Maklum saja, lahan 10 hektare itu hanya diisi 150 hingga170 karyawan, termasuk di antaranya 30-40 peneliti. Praktis, satu orang punya “ruang kerja” sampai 100 meter persegi.

Tiap jendela disambungkan ke tuas besi. (Foto: Silvia Galikano)
Bangunan yang paling dekat dengan jalan raya adalah gedung aula yang digunakan sebagai ruang pertemuan, menerima kunjungan skala besar, atau disewakan untuk tempat pernikahan. Di halamannya, di kerindangan pohon sosis (Kigelia africana) ditempatkan mesin giling tebu bermerek Robinsons Patent buatan London 1851 yang dulu pernah digunakan.
Tampilan luar aula masih mempertahankan bentuk asli dengan fasadnya mencirikan gaya arsitektur neo-klasik dan modern awal. Dinding terbagi dua, bawah dan atas, yakni berlapis batu alam dan polos. Pintu utamanya satu rangkaian dengan panel-panel jendela kaca yang secara keseluruhan membentuk setengah lingkaran (arch) berukuran besar.
Bagian dalam aula dibagi menjadi dua bagian sama luas, depan dan belakang, dipisahkan dinding berpintu. Besar kemungkinan dinding pemisah ini dibuat belakangan. Bagian depan adalah bentuk asli aula. Langit-langit melengkung dan tinggi, mencapai 4 meter.
Jendela juga tinggi dengan bingkai bawahnya saja hampir 2 meter. Itu sebabnya tiap jendela disambungkan ke tuas besi yang turun hingga setinggi pinggang orang dewasa untuk memudahkan membuka dan menutup jendela.

Gedung Serbaguna P3GI yang disewakan sebagai
gedung resepsi. (Foto: Silvia Galikano)
Sayangnya ubin lama sudah tak ada, berganti ubin keramik. Menurut Aris, banjir membuat ubin lama rusak sehingga harus diganti. Saat aula sedang tak digunakan, ruang ini digunakan karyawan sebagai ruang untuk bulu tangkis.
Jika aula bagian depan masih mempertahankan kesan kunonya, bagian belakang aula dibentuk layaknya ruang resepsi masa kini. Sepanjang langit-langit, dinding, dan jendela dipasang aksen kayu membujur yang membuat tingginya langit-langit tersamarkan, serta ciri kekunoan jendela hilang tertutupi.
Jangan dilewatkan juga melihat laboratorium. Di sana ada balkon kayu yang menempel ke tiga sisi dinding. Balkon ini sekadar tempat berdiri bagi yang ada keperluan mengambil/meletakkan sesuatu di lemari gantung yang ditempelkan di dinding atas, nyaris menyentuh langit-langit.

Laboratorium P3GI. (Foto: Silvia Galikano)


Ruang administrasi mesin giling dan kontrol bahan bakar Laboratorium P3GI. (Foto: Silvia Galikano)
di POJ Pasuruan, 1955. (Dok. KITLV)
Pengunjung dibolehkan naik, melihat lemari tua berikut labu dan stoples kaca di dalamnya. Karena balkon sempit dan jalan naik/turun hanya ada satu tangga yang lumayan curam, maka yang naik sebaiknya maksimal dua orang.
Bangunan lain yang masih mempertahankan sebagian besar bentuk aslinya adalah rumah jabatan direktur P3GI yang juga berada paling luar, sederet aula. Ada beberapa anak tangga di kanan dan kiri untuk naik ke teras rumah. Pintu depan dan empat jendela yang mengapitnya sudah diganti pintu dan jendela kaca. Jendela lama, berterali besi dan berdaun jendela jalusi (krepyak) kayu, tersisa di dua ruang yang jendelanya menghadap depan.

Diambil dari :
Oleh Silvia Galikano